Throwback

 "Mungkin Allah memang jadikan ini jalan terbaik Lin, supaya kamu punya kepercayaan diri lebih, punya pengalaman hidup yang banyak. Belum tentu kalau kamu keterima di ITB, kamu bisa kepilih jadi delegasi ke luar negeri. Karena persaingan yang ketat, bisa jadi kamu berakhir jadi anak minderan".

Kata-kata itu, kata-kata ibuku, di meja makan selepas makan malam, 10 tahun yang lalu. Usai aku bercerita bahwa aku terpilih mewakili fakultas untuk pelatihan kepemimpinan di Malaysia. 

Ibuku tahu, sejak SMA aku selalu ingin menjadi mahasiswa ITB. Ibuku pun amat sangat mendukung keinginanku itu. Ia mengajakku ke Festival Seni di ITB, sebuah acara persembahan mahasiswa ITB dengan menampilkan stand-stand hasil karya anak-anak ITB. Ibuku mengambilkan fotoku di depan gedung Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil Lingkungan (FTSL). Jurusan impianku.

Jaman SMA main ke ITB Bandung sama sohib 


Rasanya sudah hampir semua daya upaya kukerahkan untuk menembus angka-angka untuk dapat duduk di bangku Kampus Gajah itu. Namun Allah berkehendak lain. H-1 sebelum SNMPTN badanku panas, demam tinggi hingga berdiri pun tak sanggup. Ibu dan bapakku mengatakan, aku tak perlu berangkat tes. Tapi saat itu aku bersikeras. Hanya ini satu-satunya jalan aku memperjuangankan kampus impian.

Dalam kondisi mata berkunang-kunang, bersin hingga muntah berkali-kali. Aku coba selesaikan apa yang bisa kuselesaikan. Selesai SNMPTN, aku dilarikan ke rumah sakit. Saat di rumah sakit, aku mencoba merenungi makna dari perjalanan ini.  Ibu dan bapakku sudah terlalu lama khawatir dengan kondisiku. Berkali-kali mereka mengatakan, kesuksesan bukan hanya tentang kampus terbaik. Tapi aku ingin menjadi yang terbaik, mengapa aku tidak bisa menjadi yang terbaik?

Apa yang Engkau rencanakan ya Rabb? Apakah kurang usahaku? Apakah kurang sujudku?

Namun saat itu aku mulai kasihan dengan ibu dan bapakku. Aku memantapkan hati untuk mengikuti saran mereka mencari kampus swasta. Pilihan jatuh ke Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Berangkatlah aku ke Yogyakarta. Aku mendapatkan peringkat 2 dari semua peserta tes sehingga mendapat potongan harga yang cukup lumayan. Usai daftar ulang, aku mendapatkan jas almamater dan sebuah Al-Quran. Aku memantapkan hati menerima ketetapan ini.

Penguman SNMPTN datang.

Tak dinyana, aku dinyatakan lolos di pilihan kedua. Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. Luar biasa cara Allah membolak-balik hati hambaNya. Jikalau aku diberikan sedikit harap (tidak dalam kondisi sakit saat SNMPTN) mungkin aku akan kecewa karena 'hanya' mendapat pilihan kedua. Namun, aku sudah menyiapkan diri tidak diterima di PTN. Dan Allah mengizinkan aku mengenyam pendidikan di salah satu PTN terbaik di Indonesia. Alhamdulillah.

Berangkatlah aku ke UNDIP dengan tekad yang amat kuat. Saat penerimaan mahasiswa baru, aku bahkan menangis sesegukan. Sampai-sampai mahasiswa lain yang berbaris dekat denganku ikut terheran-heran. Apa yang menyedihkan dari ucapan selamat datang dari Rektor? 😝

Aku menjalani kehidupanku di UNDIP penuh dengan semangat. Aku ingin memberikan yang terbaik. Kalau perlu sampai ITB menyesal pernah menolak diriku (asli ambisnya gak ketulungan wkwkwk). Tapi lebih dari itu, aku ingin bersyukur kepada Allah. Karena aku yakin tanpa pertolongan Allah aku tidak akan lolos SNMPTN (seingatku, aku hanya melingkari beberapa nomor, mungkin 3-4 di tiap mata pelajaran). Pikiranku membawaku saat masih S1 dulu. Masa-masa di UNDIP adalah masa penuh kegemilangan. IPK cumlaude, aktif di organisasi-organisasi, bahkan menjadi Ketua Senat, mengikuti beragam lomba, menjadi mahasiswa berprestasi (meskipun gak juara sih), hingga pertukaran pelajar ke luar negeri, dan sederet keseruan hidup lainnya.

Begitu cintanya aku pada kampusku itu yang sudah menjadi rumah keduaku. Suatu hari, aku membulatkan tekad untukmenjadi dosen disini. Aku sampai sering berziarah ke makan UNDIP, mendoakan dosen-dosen, profesor-profesor yang dimakamkan di makam UNDIP. Akupun bertekad suatu hari aku juga ingin dikebumikan disini. 😂

Namun, lagi-lagi... Allah selalu punya caranya sendiri.

Pasca lulus dari UNDIP, aku bekerja 8 bulan di sebuah perusahaan. Dan memutuskan berhenti untuk lanjut ke jenjang magister. Pilihanku saat itu antara luar negeri atau dalam negeri. Singkat cerita dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk melanjutkan studiku di Teknik Lingkungan ITB.

Memasuki gerbang ITB, membangunkan singa kecil dalam diriku (apasih ini mulai alay 😂). Aku teringat masa-masa perjuangan SMA dulu. Ada masa-masa aku begitu terpukul mendapatkan stigma negatif dari dosen yang seakan-akan kalau bukan lulusan ITB tidak akan sebaik jawaban anak lulusan ITB. Tapi lebih dari itu, ada masa-masa mata yang berbinar melihat pengajaran yang luar biasa cemerlangnya. Membuat dendrit-dendrit dan neuron-neuron kepala ini menjalar-jalar (mulai....mulai...)

Sampai suatu hari, qadarullah, Allah membuat tulisanku tentang pengalaman kuliah di ITB viral seantero negeri....

(to be continued...)

Komentar

Postingan Populer