THE CONFESSION
Aku masih ingat...
Dan mungkin tak akan pernah lupa...
Dalam suatu sore saat aku berumur 7 tahun, ibuku pulang dari
kantor dengan membawa sebuah agenda lengkap dengan kalender dari kantornya, dan
sebuah pulpen. Ibuku seperti biasa selalu membawakan buah tangan sepulang kerja
namun buah tangan kali itu tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Sebuah
buku harian pertamaku
Ibuku bilang, dan masih terngiang selalu di kepalaku “Dengan menulis, kamu bisa menjadi apapun
yang kamu mau, apapun, tak terbatas, tulislah, tulislah apapun itu”
Dan mungkin jika digambarkan, pastilah mataku berbinar-binar
dengan mulut ternganga terpesona diiringi pancaran sinar matahari dari langit.
(lebay)
Aku selalu percaya hal itu, selama itu pula aku tak pernah berhenti
menulis. Aku bisa menjadi power ranger, koboi, artis sebuah teater di italia, dokter,
astronot, presiden. Semua hal tanpa batas, tanpa takut dosa, etika, dan tata
krama yang berlaku di masyarakat.
Banyak teman, hidup senang, dunia dalam genggaman.
Sepertinya moto hidup itu terus menjadi kenyataan, bahkan lewat tulisanku aku
bisa memiliki fans cerita-cerita yang kutulis di facebook yang padahal tidak
jauh berbeda dengan isi buku harianku, aku bisa menjadi copywriter di kompas,
aku bisa menjadi segalanya...
Namun, semua itu sirna. Saat aku mengenal Tuhan. Ya Tuhan...
Hidupku yang kuatur diatas imajinasiku sendiri, kini setelah
aku mengenalNya, aku harus rela untuk diatur olehNya. Dalam masa-masa itu, aku
selalu hanya ditemani buku harianku. Hanya ia yang kupercaya menumpahkan
segalanya. Saat-saat aku mempertanyakan keadilan Tuhan, saat-saat aku
mempertanyakan eksistensi Tuhan, saat-saat kritis, untunglah aku bisa menulis,
kalau tidak mungkin aku berakhir di sebuah pojok rumah sakit jiwa.
Aku lahir dan tumbuh dalam keadaan masyarakat yang jahil/bodoh.
Keluarga yang liberal, masyarakat yang apatis, semua hal yang membentukku
menjadi orang besar di mata manusia, namun tidak di mata Tuhan, karena selama
ini aku melakukannya atas doronganku pribadi.
Mengenal Tuhan, sama saja dengan membunuh diriku yang dulu,
yang menyenangkan, yang terbahak-bahak setiap saat, yang menganggap semua hal
benar selama itu benar menurutku. Mengenal Tuhan membuatku membunuh perlahan-lahan
diriku yang dulu...
Seandainya kalian tahu seberapa sakit dan hancurnya saat aku
merasakan kesenangan yang sama dengan yang kurasakan dulu saat aku pergi ke mall
bercanda dengan teman-temanku, disaat aku tahu bahwa Tuhan melihatku dan
seakan-akan berkata “Dan tidak kuciptakan jin dan MANUSIA kecuali untuk
beribadah kepadaKu”.
Seandainya orang tuaku tahu rasa sakit yang ditimbulkan saat
mereka mengatakan suku Jawa adalah suku pilihan, yang lahir di dalamnya orang-orang
besar. Dan yang membuat aku semakin hancur adalah bahwa aku juga sangat
mendukung teori mereka namun Tuhan lagi-lagi berkata padaku “Sesungguhnya semua
MANUSIA sama di mata Tuhan kecuali dari tingkat ketaqwaannya”.
Aku memilih, membunuh diriku, dengan segala setan yang
mengelilinginya.
Tak ada manusia di dunia ini yang bisa mengerti aku, tidak
ada. Kecuali aku dan Tuhanku (dan tentu saja Ia bukan manusia).
Bahwa suatu sifat manusiawi manusia memiliki rasa ingin
dianggap ada, eksistensi. Aku pun mempertahankan eksistensi yang telah kubangun
seumur hidupku. Menjadi anak, menjadi kakak, menjadi teman, menjadi murid,
menjadi perempuan menjadi segalanya yang terbaik dalam perspektif manusia.
Sehingga menjadi suatu hal yang amat sangat complicated ketika aku terlempar
dalam sebuah hubungan sosial.
“Lin pacarku mau dateng, aku pakai baju apa ya enaknya?”
Aku harus ikut bersuka ria memilihkannya baju, menyelesaikan
masalahnya dengan kekasihnya, memahami perasaannya yang akan terluka jika aku
berkata “Tuhan melarang kita mendekati zina”.
“Lin, besok tolong dibuat SPJnya, pakai anggaran asal aja
gapapa, daripada uangnya ga turun”
Aku membuatnya, menekan dalam-dalam keinginan untuk
berteriak “Ini bukan uang hak kita, ini bisa jadi riba”
Saat aku datang kedalam sebuah perayaan, pesta, aku masih
tetap tertawa. Sekalipun kepalaku membawa gambar-gambar anak-anak, ibu-ibu,
manusia di Palestina, Syria, Rohingya yang mati di tank-tank para pembenci
Islam.
Dan aku semakin sering menulis. Buku harianku cepat habis.
Perlukah kuceritakan pada manusia? Sudah kucoba dan hasil yang tak seberapa.
“Ah, lu kebanyakan mikir sih jadi orang”
“Ya udah sih, You only life once, nikmatin aja lagi”
“Lakuin aja apa yang kamu bisa, ga usah mikir jauh-jauh”
Atau sekedar lelucon “Gue dukung lu jadi presiden”
Berbeda dengan buku harianku, ia menerimaku, ia menemaniku,
menyeimbangkan diriku dalam putaran dunia ini.
Sejauh ingatanku, aku tak pernah lepas kendali, seperti
memaki di depan batang hidungnya, berteriak, menangis menjerit-jerit. Semua
masih terkendali.
Sampai suatu saat sebuah ayat menelusup ke dalam hatiku,
“Wahai orang yang
berkemul (berselimut)”
“Bangunlah, lalu
berilah peringatan!”
“dan agungkanlah
Tuhanmu”
“dan bersihkanlah
pakaianmu”
“dan tinggalkanlah
segala (perbuatan) yang keji”
(QS: Al Mudatsir 1-5)
Seandainya boleh memilih, aku akan tetap berselimut, aku
akan bertahan dengan pemahamanku sendiri, dan melakukan semua seperti biasa.
Seandainya diriku yang dulu masih ada...
Lalu dalam beberapa momen, aku mencoba... sungguh Tuhan...
Namun tak ada yang berubah, semua masih sama, dunia ini
masih sama, bahkan memburuk tiap harinya. Dan ada dua momen yang akan aku
ingat... dan menjadi pemicu tulisan ini
6 April 2014
Sebuah status di facebook:
“Hari ini dateng ke Prentasi Kelayakan (PK). Ada banyak hal yg jd bahan pikiran. Seperti apakah pola kaderisasi yg terbaik, yg jauh lebih permanen, menyentuh hingga ke seluruh aspek kehidupan yg dikader? Saya blm bs dikatakan pengkader yg baik namun yg saya tau cara memaki dan berteriak tdk akan memberikan efek jangka panjang”
Aku
menulisnya dalam sebuah tanya “ya Rasul, bagaimana engkau dulu mendidik
sahabat-sahabatmu?”
Karena aku
tumbuh dalam masa dimana memaki dan berteriak adalah cara yang aku ketahui.
Ibuku, guruku, dosenku, seniorku, semua guruku yang ‘keras’ lah yang
menjadikanku seperti saat ini. Aku secara pribadi, aku atas nama seorang Nur Novilina
Arifianingsih amat menyukai, mencintai, menguasai cara mengkader dengan
bentakan, cemooh penyemangat, ketegasan, anti kelembekan dan kelambatan,
disiplin tinggi dan lain-lain. Namun, aku dengan menyebut nama Tuhanku hanya
ingin belajar seperti apa yang dilakukan manusia paling dicintaiNya
Rasulullah... dan dalam hal ini aku mempercayai kekuatan tulisanku...
sepenuhnya aku bergantung pada kemampuan itu untuk membuat perbaikan.
Namun ternyata, yang ada hanyalah kekacauan yang tak ingin
lagi kuingat.
Perubahan acara pelantikan, pemunduran ketua alumni dari
jabatannya, dan segala hiruk pikuk di dalamnya, segala desas-desus yang
mengikutinya...
Hari-hariku penuh dengan ketakutan, bukan kepada manusia,
bukan mereka, sama sekali... tetapi kepada diriku sendiri dan kepada murkaNya
kepadaku. Tidakkah baru saja aku menjauhkan orang-orang itu dariku? Tidakkah
baru saja aku menjauhkan orang-orang itu dariMu?
Namun menulis, selalu membuatku percaya, bahwa aku bisa
menjadi apapun yang aku inginkan...
Aku bangkit menata hidupku lagi, menata kepercayaan diriku
lagi dalam menghadapi realita dunia ini. Lagi dan lagi, sebuah status di facebook:
16 Mei 2014
“Beberapa hari yg lalu saya cukup terkejut dgn pamflet MISS MUSLIMAH UNDIP. Yang mengejutkan adalah acara ini diadakan oleh organisasi rohis kampus yg katanya mengecam keras eksploitasi perempuan ala Barat. Ketika Islam bukan lagi mengacu pada Al-Quran tetapi pada suara kebanyakan. Maka para aktivis islam pun berlomba-lomba untuk diterima arus globalisasi. Sehingga muncul istilah Islam Moderat dan Miss Muslimah. Bahahahaha #keblinger”
Kemarahan yang luar biasa muncul karena sesuatu bernama
kejahiliyahan abad ini dilakukan oleh orang-orang yang aku anggap pemahamannya
lebih baik dari aku. Yang mungkin menemukan Tuhannya jauh sebelum aku. Yang
seandainya bisa menjadi partner justru memperkeruh keadaan.
Ah, seandainya aku atas namaku Nur Novilina Arifianingsih
bisa berkata bahwa aku adalah pengagum kecantikan dan keindahan wanita, bahwa
aku pernah hapal nama-nama miss universe dari pertama diselenggarakan, bahwa
masa kecilku habis bersama ayahku meributkan jagoan masing-masing dalam ajang
miss world, dan ini ada kesempatan bagi para muslimah, bukankah aku seharusnya orang
yang paling pertama mendaftarkan diri?
Bahwa seandainya mereka tahu status itu kubuat dengan derai
air mata, kusebut atas nama Tuhanku tapi kebiasaan jahiliyah itu terus
menghantui, menggodaku dengan segala cara...
Namun aku telah memilih, aku ingin menjadi seorang penyampai pesan... The Messenger
http://shadowness.com/file/item9/284784/image_t6.jpg
“Jilbab doang, tapi hatinya busuk”
“Jangan diulangi lagi, ini sudah yang ke-2 kali”
“Dia cuma orang yang ga tau”
“Sok suci”
“Menggurui”
“Sampah”
“Bisanya mengkritik doang, banyak cocot”
“Lu kok berubah sih, ga asik lagi sekarang”
“SARA”
“Alah Lina doang”
“tanggung jawab atas semua kerusakan ini”
“minta maaf dong kalo punya niat baik”
“cara Rasulullah? Buahahhaa”
“ yah mana bisa Lin kayak gitu di jaman kayak gini”
“fundamentalis”
“konservatif, kuno, terbelakang”
“doakan dia diberi hidayah”
“jangan di sosial media lah”
“kalau mau nulis kayak gitu di tempat yang sifatnya pribadi
aja”
“tulisan itu kadang salah tangkap”
Dalam semua kata-kata yang terus berputar dikepalaku... aku
kembali ke sore itu, saat ibuku memberikanku sebuah buku harian pertama dan ia
berkata: “Dengan menulis, kamu bisa
menjadi apapun yang kamu mau, apapun, tak terbatas, tulislah, tulislah apapun
itu”
Namun saat ini, detik ini, aku ingin menjawab... “Tidak Bu, tidak semuanya, aku bahkan tak
mampu menjadi seorang pembawa pesan bagi mereka.”
Izinkan aku beristirahat
Aku meminta maaf kepadaMu, atas segala ketololanku, atas
segala kebodohanku, atas segala ketidaksabaranku, atas segala tindakanku yang dapat
memburukanMu. Dan sebuah ayat akan terpatri lagi dalam hati:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih Mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS: An Nahl 125)
Biarlah
seluruh manusia meninggalkanku, biarlah seluruh dunia memalingkan wajahnya
dariku, asal jangan Engkau, Tuhanku.
Bimbing
aku, tuntunlah aku, jadikanlah aku seperti apa yang Engkau inginkan, yang
paling Engkau inginkan...
Life Like Allah Wants
aku senang dengan kakak yang jujur. :)
BalasHapusNamanya jg media sosial lin. Semua bebas berpendapat dan semua bebas membantah pendapat kita. Tapi sorry nh kalo menurut gw ya, buat pendapat2 yg agak provokatif (bener ga sh tulisannya ?) Mending dipikir matang2 dl sebelum di share di medsos. Kl untuk 1 forum tertentu sh gpp, tp kalo untuk jd status ato twit yg bisa diakses semua org itu yg nantinya bs bikin orang lain berpikir negatif.
BalasHapusDidunia ini engga ada manusia yg suci bgt lin kecuali Nabi dan RasulNYA, Semoga tetap istiqomah yaaa :)
BalasHapusLo emang udah ga asik kayak dulu lagi Lin, tapi lebih asik...
BalasHapusCayo Ibu Messenger....
------*Ini kayak semacam efek TA yg lain deh ya -,-
Biar waktu yang membuktikan, Lin...
BalasHapusHidup itu tentang keyakinan yang diperjuangkan kawan. Semangat!! :)
BalasHapusterima kasih untuk semuanya, dukungan, pesan semua respon adalah sangat baik buat aku pribadi. hope we can grow up better and better each day in our life :-)
BalasHapuskaaffah! datang dlm keadaan asing, suatu saat akan menjadi asing lagi. pasti berat kowe ya, Lin. tapi contoh yg baik.
BalasHapusmakasih mail :-) toh gak lebih berat dgn hidup tanpa islam kaffah,,
BalasHapus