Saatnya bicara Cinta...
Kebanyakan orang lebih mudah bicara dengan kata daripada
menuliskannya.
Namun bagiku, kumpulan kata tak bersuara mampu menjelaskan
lebih dari segalanya. Ia membantuku menyampaikan pada dunia apa yang ada di
kepala.
Cinta. Kata itu adalah yang paling sulit diterjemahkan dalam
hidupku karena aku tumbuh dalam cinta tanpa kata. Hampir-hampir tak pernah
orangtuaku mengatakan cinta, namun aku tahu, cinta mereka nyata. Cinta juga
pembelajaran paling besar dalam hidupku. Terlebih saat beranjak dewasa, saat
aku mulai mengenal kata pria dalam bentuk romantika.
Seseorang pernah datang padaku, lebih dari 3 tahun yang lalu.
Kesederhanaannya membuatku terkesan. Dibandingkan diriku yang menginginkan
segalanya di dunia ini, ia hampir seperti tak ingin apapun. Kecanggungannya
membuatku terpukau. Saat aku mampu terbahak di depan kumpulan orang baru, ia
bahkan terlihat kaku di depan saudara sesusu.
Pertemanan yang berlarut menjadi suatu perasaan ganjil yang
belum pernah aku rasakan. Tampaknya semua terasa indah dan menyenangkan,
bersamanya aku merasa seolah-olah tenang. Tak berpikir tentang kelaparan di
Sudan, atau intrik politik kulit hitam. Bersamanya aku merasa diperhatikan
hingga lupa bagaimana caranya memperhatikan apa yang Tuhan inginkan dari hambanya
bernama insan.
Beruntunglah manusia, ia diberikan akal hingga sadar bahwa sesuatu
itu salah atau benar. Beberapa kali kucari pembenaran, tentang pacaran cara Islam,
pacaran yang diridhoi Allah, pacaran yang gak ngapa-ngapain, pacaran yang ‘nunggu
kamu halal untukku’. Namun aku sadar, bahwa Allah tak pernah ingin di nomor duakan.
Tentu saja kita akan tahu ketika kita menduakanNya, karena hati tak pernah
berbohong, ia berbisik
“Bagaimana mungkin kamu memilih dia yang baru beberapa kali
berjumpa dibanding Allah yang kehidupanmu ada dalam genggamanNya?”
“Ampun deh... masih kepikiran dia? Kapan kepikiran Allah?”
Hati, ia selalu
menuntun kita kepada kebenaran, kebenaran yang absolut, meskipun semua orang
berkata sebaliknya, meskipun bermiliyaran tahun lamanya tersembunyi, kebenaran
tetaplah kebenaran. Kebenaran yang hakiki, kebenaran Tuhan.
Lain hati, lain Setan. Ia menggedor pintu hati kita, tak bisa
masuk ke dalam hati namun gedorannya mampu memalingkan kita. Bagaimanapun caranya
“Ah elah, liat itu dia ngajak ke kebaikan terus kok, mana
mungkin orang yang ngajak kebaikan itu gak di ridhoi Allah?”
“Kalian kan gak ngapa-ngapain, malah sering diskusi tentang
Islam juga kan? Terus kenapa khawatir sih?”
Berkali-kali, dialog-dialog itu menghantuiku. Sampai di titik
aku tahu bahwa aku hanya mengulur waktu. Sudah jelas segala bukti kebenaran
itu, namun hawa nafsu selalu jadi nomor satu. Aku tak ingin menjadi lebih hina
lagi dari hari ke hari. Aku memutuskan untuk menyudahi hubungan itu. Sebenar-benarnya
putus. Tak ada lagi komunikasi, sama sekali. Hanya saja aku bilang “Mungkin 3
tahun lagi kamu bisa menghubungiku kembali namun aku juga tak bisa memberikan
janji, perubahan apa yang terjadi selama 3 tahun”. Final tanpa kompromi
Rasa-rasanya hari itu adalah hari tersedihku sejak aku
dilahirkan. Memilih sesuatu yang ghaib dibanding sesuatu yang nyata, menukar
kebahagiaan (saat itu) dengan janji-janji yang belum diyakini datangnya. Menangis,
meratap, mengasingkan diri, namun saat
itu juga aku merasa benar-benar hanya bergantung pada Allah. Tidak pada
siapapun, tidak pada sahabat, guru, bahkan orangtua. Kadangkala aku justru menyalahkan
orangtuaku dan guruku yang tidak pernah mengajariku hal ini. Aneh ya? Tapi aku
pikir seandainya aku tahu teori ini terlebih dahulu tentu semuanya akan lebih mudah. Bahkan (ini lucu
untuk dikenang) ketika melihat Betadine aku memegangnya berkali-kali dan
berpikir di sebelah mana harus kuletakan obat merah ini supaya perihnya
berkurang. I don’t have any experience at
all. Namun jauuuh di dalam hatiku ada suatu kemenangan yang nyata. Suatu
konsep yang baru kali ini aku pahami. Menjadi pribadi yang merdeka seutuhnya.
Kupikir ketika kita hidup dalam aturan-aturan tertentu kita akan menjadi budak,
terkukung dan tak bebas. Namun kali itu entah mengapa ketika aku memilih
terikat oleh aturan Allah, justru aku merasa bebas. Bebas dari apapun termasuk
hawa nafsu diri sendiri, dan hanya terikat kepada Allah. Bukan bebas yang
bergairah dan melonjak-lonjak tak berarah namun bebas yang menenangkan. Terasa
sudah Islam sebagai agama yang damai dan menyelamatkan yang selama ini hanya
menjadi slogan belaka. Sungguh kata yang tersedia di kamus tak cukup mewakili
perasaan itu.
Pelan tapi pasti, aku kembali menyusun puing-puing bertahan
hidup. Aku mengisi hari-hariku dengan banyak hal, banyak kesibukan, banyak pelajaran.
Aku belajar mengenal diriNya dalam suatu kemurnian, ikhlas tak bercampur
apapun. Segala jenis buku kulahap. Berbagai kesempatan kudapat. Menjadi ketua
senat, menjadi delegasi ke luar negeri, mengikuti lomba A, B, C, menjadi
mahasiswa berprestasi, mendapat penghargaan sebagai wisudawan aktivis, bekerja
di perusahaan multinasional, dan nikmat lainnya yang tidak bisa kuhitung. Aku
mencoba memahami manusia, memahami dunia, memahami cinta. Cinta dan hawa nafsu
adalah dua hal yang berbeda. Cinta selalu menghantarkan kita pada Tuhan Semesta
Alam. Sedangkan hawa nafsu, bagaimanapun ia lebih dekat kepada setan.
Dalam masa-masa itu aku banyak belajar tentang manusia dan
kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Berkali-kali kulihat tragedi dan kejadian
mengerikan di depan mata. Akibat ketidakadilan yang tegak di bumi ini. Saat
melihat tetanggaku gantung diri karena terlilit hutang, saat melihat seorang
tukang siomay langgananku dibakar karena mencuri dan karena kelaparan, saat
berpuluh-puluh buruh datang kepadaku meminta belas kasihan atas hidupnya yang
nestapa dirundung kemiskinan, saat melihat saudara seiman di belahan dunia lain
disiksa karena keyakinannya, aku malu pada diriku sendiri. Kesedihanku saat itu
sama sekali tak ada artinya dibandingkan penderitaan umat manusia saat ini.
Yang terjajah, jauh dari kata merdeka. Adalah tugas yang kuat untuk membela
yang lemah. Dan aku memilih untuk menjadi kuat, aku ingin menjadi sosok manusia
yang bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya orang. Yang sudah selesai dengan
dirinya sendiri. Yang menjadi penunjuk arah di dalam kegelapan. That’s why my name is Nur (light).
Tiga tahun telah berlalu, hari itu tiba. Hari itu aku secara
resmi diterima untuk melanjutkan studi S2 ku di ITB, hari itu pula aku diterima
sebagai asisten konsultan lingkungan, dan hari itu pula pengumuman aku lolos
seleksi administrasi beasiswa. Dan hari itu dia datang dalam bentuk undangan
pernikahan. Aku telah mempersiapkan hari ini bahkan di detik saat aku
memutuskan hubungan dengannya. Aku cukup heran juga menyadari aku tidak
menangis. Beberapa kali aku coba untuk menangis, maksudku bukankah seharusnya
respon yang terjadi bagi perempuan normal yang ditinggal ‘seseorang di masa
lalunya’ adalah menangis? Tapi aku masih tidak menangis. Namun aku belum tahu
mengapa, terlalu dini untuk mengatakan aku sudah melupakannya. Berkali-kali aku
coba meraung, berpura-pura menangis sampai adikku mencemooh “Apa-apaan sih anak
ini?” (maaf memang ada banyak hal dalam diriku yang aku sendiri merasa cukup
berbeda dengan kebanyakan orang lainnya :-p).
Mendekati hari-H, teman di tempat kerjaku yang dulu menghubungiku
untuk mengambil uang gaji dan THR yang tertinggal di perusahaan supaya mereka
bisa segera membereskan perihal administrasi. Artinya aku harus kembali ke
Semarang, ke tempat acara itu diadakan. Aku dirundung kegalauan, datang atau
tidak, datang atau tidak. Dan kuputuskan menanyakan itu pada guruku. Ia bilang “Setiap
detik waktu yang kita gunakan akan dimintai pertanggungjawaban”. Selalu begitu.
Selalu membuatku memilih sendiri apa yang aku pahami, selalu membuatku berpikir
keras. Dan bertanggung jawab penuh atas pilihan yang kuambil. Dan aku selalu bersyukur
untuk itu.
Dan tibalah hari itu. Saat itu aku harus memilih, datang ke
pernikahan itu atau bertemu adik-adik bimbinganku. Perempuan-perempuan muda
yang juga sedang belajar, mencari jati diri, mencari Allah dan mencari makna
cinta hakiki. Maka bukan sebuah tandingan bagiku untuk tetap mempertahankan ego
datang ke acara itu. Lagipula untuk apa? Apakah akan bermanfaat bagi kemanusiaan?
Ataukah justru akan membawaku berlarut-larut lagi dengan masa lalu? Selepas
bertemu adik-adik (yang bisa dikatakan ‘se-frekuensi dalam kegilaan’ semoga
Allah selalu menjaga dan memberikan mereka petunjuk) itu aku pulang. Pesawat
pukul 18.30 WIB.
Saat menunggu pesawat take
off, aku masih terus berpikir keras, tentang masa lalu, masa kini dan masa
depan. Dan saat kulihat lintasan pesawat dinyalakan lampunya, dan deru pesawat
berdentum begitu kerasnya, tampak sebuah jalan panjang tanpa ujung di depan
sana. Rasanya belum pernah aku melihat keindahan di bandara seperti saat itu.
Pesawat mulai maju... ia terus maju... dengan gagah melaju di lintasan yang
telah ditetapkan begitu indahnya dan perlahan-lahan rodanya terangkat masuk...
kemudian ia mengepakan sayapnya, terbang ke angkasa. Dan saat itu aku menangis,
menangis sejadi-jadinya (bahkan aku mengabaikan tacik-tacik di sebelahku yang
sepertinya kebingungan). Saat itu aku tahu untuk apa aku menangis.
“You did it! Kamu
berhasil melaluinya, semua ini telah menjadikanmu lebih kuat dari sebelumnya,
Gadis Kecil. Dunia menunggumu di ujung sana, dengan kekuatanmu membentuk
peradaban yang membebaskan manusia dari kesengsaraan. Kedepan mungkin akan
banyak hal yang harus kau tempuh dengan keringat dan air mata, mungkin lebih
berat. Tapi kamu tahu, bahwa kamu selalu bisa memilih untuk menang. Tak ada
yang tak mungkin lagi di depan”
Semua perasaan kehilangan, kelelahan, ketidakmengertian akan
permainan Tuhan ini... aku rasa aku sanggup merasakannya 10x lagi, 100x bahkan
1000x lagi agar aku bisa menjadi sosok yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih
bermanfaat.
Tulisan ini untuk semua perempuan di luar sana yang tercipta
dengan fitrah halus perasaannya dan sedang dirundung kegalauan seperti yang
kurasakan dahulu. Jangan jadikan itu sebagai pintu agar setan berhasil
menggodamu. Aku adalah perempuan biasa, lahir dalam masa yang sama, dari kurikulum
pendidikan yang sama, dari lingkungan yang serupa, yang mencoba terlepas dari
belenggu bernama cinta (yang salah). Kalau aku bisa, pasti perempuan lain juga
bisa, hanya tinggal mau atau tidak. But
believe me, ketika kita memilih Allah kita tidak akan pernah menyesal. Dan
aku sangat sangat ingin feeling di
pesawat (apapun itu disebutnya) juga kalian rasakan. Itu adalah cadangan
kebahagiaan yang dengan mengingatnya kita bisa menangis karena penuh dengan
rasa syukur dan bahagia. Aku akan selalu terbuka jika kalian datang kepadaku, meminta ditemani dalam masa-masa sulit itu. Itulah bentuk cintaku
Tulisan ini untuk siapapun yang nanti menjadi imamku, suamiku.
Jika suatu hari engkau membaca, aku ingin engkau tahu bahwa masa laluku mungkin
tak bersih, namun aku selalu dan selalu mencoba mempersiapkan diri untukmu,
seperti Khadijah mempersiapkan diri untuk mendampingi seorang penguasa,
pemimpin dunia, Muhammad SAW. Jika suatu hari engkau membaca, aku ingin bukan
lagi perasaan cemburu yang ada namun perasaan bangga karena engkaulah yang
pantas menerima pengorbanan sedemikian rupa. Aku ingin engkau merasa tenang
karena akan selalu kutaati dan kuikuti selama berada dalam koridor kebenaran. Itulah bentuk cintaku
pic from https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/736x/18/95/6d/18956d74070f3cbb62d3383a86fa370c.jpg |
Jawaaaa... feelnya dapet banget tulisan lo ini. gue pgn ngobrol sama lo, pengen share, pengen bisa punya tekad dan mindset kaya lo. nanti gue hubungin lo ya.. :)
BalasHapusNandaaa ayo ketemuan jg boleh. Km lg dmn? Btw aku mau makasih bgt kamu pernah bilang aku calon NH Dini masa depan. It's such a great energy for me! Love love
HapusTak (ingin) memuji tetapi beginilah semestinya kita dalam cinta. Semoga tetap diberi taufiq & hidayah hingga kelak layak bersanding bersama para wanita penghuni surga.
BalasHapusآمِيْنَ يَااَللهُ يَارَبَّ الْعَالَمِيْن
Terima kasih komennya. Maaf saya suka lama kalo bls komen hehe
HapusSepertinya memang bukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan, jika gelas didinginkan mendadak dia akan rapuh dan mudah pecah, namun seperti penyepuhan baja yang memerlukan pendinginan mendadak untuk mendapatkan baja yang kuat..
BalasHapusSepertinya memang bukan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan, jika gelas didinginkan mendadak dia akan rapuh dan mudah pecah, namun seperti penyepuhan baja yang memerlukan pendinginan mendadak untuk mendapatkan baja yang kuat..
BalasHapusterima kasih Profesor sudah berkunjung dan membaca tulisan saya. Semoga kita bs sama2 menjadi baja yang kuat amin
HapusPacaran setelah nikah aja, mau ngapain aja halal heee
BalasHapusHaloo pak^^
BalasHapusKami dari SENTANAPOKER ingin menawarkan pak^^
Untuk saat ini kami menerima Deposit Melalui Pulsa ya pak.
*untuk minimal deposit 10ribu
*untuk minimal Withdraw 25ribu
*untuk deposit pulsa kami menerima provider
-XL
-Telkomsel
untuk bonus yang kami miliki kami memiliki
*bonus cashback 0,5%
*bunus refferal 20%
*bonus gebiar bulanan (N-max,samsung Note 10+,Iphone xr 64G,camera go pro 7hero,Apple airpods 2 ,dan freechips)
Daftar Langsung Di:
SENTANAPOKER
Kontak Kami;
WA : +855 9647 76509
Line : SentanaPoker
Wechat : SentanaPokerLivechat Sentanapoker
Proses deposit dan withdraw tercepat bisa anda rasakan jika bermain di Sentanapoker. So… ? tunggu apa lagi ? Mari bergabung dengan kami. Pelayanan CS yang ramah dan Proffesional dan pastinya sangat aman juga bisa anda dapatkan di Sentanapoker.