Aku Rindu Mawar

Kali ini gue mau cerita, anyway bukan tentang hal-hal konyol seperti biasanya.
Gue cuma lagi mengamati kejadian-kejadian yang bikin gue mendapatkan banyak pelajaran. Salah satunya tentang menyikapi sebuah perbedaan yang fundamental.

oke, gue to the point aja kali ya, sebenernya gue agak terganggu dengan perilaku temen gue sekontrakan, sebut saja Mawar. Why? Pasalnya si Mawar ini semacam HTS-an dengan seorang pria berbeda agama (temen angkatan gue juga) sebut saja Aceng. Aceng ini kebetulan penganut Katholik dan si Mawar ini Islam.

Yah, pada awalnya mereka ini sahabatan, jujur saat itu gue cukup iri dengan tipe persahabatan mereka. Saling tolong-menolong satu sama lain, supporting each others, tapi lambat laun tumbuh benih-benih cinta di hati si Aceng. Dan dimulailah babak dilematis si Mawar.

Mawar yang menurut gue punya basic keagamaan yang kuat awalnya tentu menolak dengan sangat keras keinginan si Aceng mendapatkan cintanya, keinginan yang sangat amat itu membuat kita anak-anak kontrakan sangat bersemangat membantu dia. Mulai dari gantian pake motor (karena Mawar ga punya motor, dan akses modus terbesar si Aceng adalah anter-jemput Mawar, akhirnya kita buat sebagaimana mungkin Mawar selalu punya motor buat kemana-mana), matiin telepon dari si Aceng,  teriak-teriak mengingatkan waktu sudah malem kalo si Aceng datang ke kontrakan sampai menjodohkan Mawar dengan pria terbaik harapan bangsa. Segala cara kita lakukan, namun sepertinya kegigihan Aceng patut diacungi jempol. Sehingga lambat laun bukannya mengalami perubahan signifikan seperti tujuan awal kita tapi justru sebaliknya, Mawar semakin dekat dengan Aceng. Awalnya gue dan teman-teman lainnya pikir ini hanyalah salah satu dari strategi Mawar untuk menjauhi Aceng secara perlahan. Namun sebuah titik membuat gue terhenyak dan berpikir untuk tidak akan peduli lagi, terhadap apapun dan siapapun di kemudian hari (lebay)

Jujur gue sayaaang banget sama si Mawar, dia tipe sahabat yang tidak terbantahkan lagi. Mengutamakan kepentingan temannya yang lain dibandingkan kepentingannya sendiri, good listener, selera humor tinggi, cerdas dan lain-lain yang bikin banyak orang betah orang pengen berlama-lama deket dia.
Ditambah gue yang sempet terbebas dari seorang pria atas dukungan dia. Dia sempat menjadi role model gue, kestabilannya dalam menanggapi hal-hal yang 'tidak terlalu penting' sangat rasional dan benar tentunya.

Namun suatu saat di sela-sela keletihannya yang kesekian kali akibat si Aceng ini membuat gue menjauh sejauh-jauhnya sama dia. Ceritanya malam hari, gue waktu itu lagi asistensi di suatu tempat, yang ada di rumah cuma si Mawar ini dengan salah satu temen gue, sebut saja Nur. Nah si Nur ini mendapati si Mawar mau pergi malem-malem jam 10 lah kira-kira, sama siapa lagi kalo bukan sama si Aceng. Karena kepanikannya inilah dia akhirnya mengirimkan SMS ke anak-anak kontrakan gue. Dan tersebutlah seorang yang sangat reaktif diantara kita langsung SMS si Mawar
"Mawar, kamu mau pergi kemana? sama siapa? ini hujan lho udah malem juga... Kamu dah dewasa pasti tau mana yang terbaik buat kamu." (kira-kira redaksinya seperti itu)
dan jawaban si Mawar hanyalah "Btw ga pergi tuh"
sebenarnya sudah lama gue dan anak-anak kontrakan lainnya melihat gelagat Mawar yang semakin tidak ingin berpisah. Setidaknya tercermin dari intensitas pertemuan si Mawar dan Aceng yang justru semakin menjadi-jadi.

Dan akhirnya pagi hari Mawar meledak, tangisnya pecah diiringi ultimatum "Jangan campurin urusan dia lagi, dia ga suka" itu yang gue tangkep. Entah kenapa saat itu emosi gue naik banget. Gue pengen bilang kalo seandainya dia tau gue orang yang segimana ga pedulinya dengan urusan orang rang orang lain, dan dia bisa membuat gue bener-bener peduli tentangnya, tentang masa depannya, maka dia bakal sadar kalo kata-katanya bener-bener membuang gue ke dasar laut terdalam. Perasaan dicampakkan begitu saja. Ga tau deh kenapa ya? Lebay sih tapi jujur mungkin dia temen pertama yang gue pikirin selalu yang terbaik buat dirinya, karena gue merasa dia layak mendapatkan yang terbaik. Tapi nyatanya....
Hari itu juga gue cabut dari kontrakan, 3 hari gue ga pulang. Ini jauh lebih baik ketimbang gue ada di rumah tapi isinya hawa negatif semua, mending gue netralin dulu di luar dan kembali dalam keadaan baik-baik saja.

Setelah peristiwa itu semua nampak baik-baik saja, namun kami satu sama lain saling mengerti bahwa semua tak lagi sama. Tidak lagi seperti yang dulu.... Hanya saja banyak pelajaran yang bisa gue ambil, salah satunya menangani perbedaan yang sangat fundamental seperti itu.
Bukankah setiap orang memiliki prinsip mendasar dalam hidupnya? Kalo menurut gue, toleran bukan berarti melebur, berbeda tak harus membuat perpecahan namun bukan berarti semua sama. Ada hal-hal yang pasti kita yakini dan untuk itulah kita hidup, untuk memperjuangan nilai-nilai yang kita anggap benar... kalau semua sudah sama, buat apa memilih bukan?

Gue masih merasa akan ada waktunya Mawar kembali wangi seperti yang dulu, saat ini ia hanya terampas indahnya oleh si Parasit... Suatu saat gue pengen kembali lagi seperti dulu kala, bercengkrama menertawakan hal-hal konyol dan menelusuri arti hidup...